Kamis, 26 November 2015

Cahaya Senja



Aku bukan orang yang cukup suka pada angka-angka; mengingatnya hingga ke teluk kepala, menandai di sisi almanak, atau mencatat besar-besar di buku agenda, bukanlah kebiasaanku. Aku lebih suka pada labirin alfabetika, rerimbun kata, dan juntaian kalimat-kalimat; maka itu aku menulis bukan menghitung.
Tapi aku ingat--meski tak tepat--lebih dari satu putaran rotasi bumi kita bertemu. Awal yang lucu bagiku, sempat tak mengenal sosokmu saat justru engkau mengetahui aku lebih jauh. Memoar itu terputar begitu saja saat saudari-saudari yang kau cintai berebut ucap sembari merapal harap melalui doa untuk dirimu; hari ini hari lahirmu.
Aku kerap bingung, hadiah apa yang tepat untuk diberikan pada orang yang bertambah usia? Karena aku suka membaca, aku selalu terpikirkan buku. Tapi buatmu? Rasanya tidak. Kata-kata yang kau baca mungkin lebih jenggala dari yang aku eja, tetumpuk buku koleksimu pun bisa jadi lebih tinggi dari yang kupunya. Maka kuputuskan aku menulis saja; yakinku kau belum membaca tulisanku ini yang memang khusus kubuat untukmu.
Bukan sengaja kubuat ini untuk hadiah ulangtahunmu, aku hanya ingin menulis saja tentangmu, hanya itu. Dan bukan tak sengaja aku luput pada percakapan-percakapan tentang ucapan hari lahir, aku hanya tak biasa ikut pusarannya. Karenanya aku menulis khusus begini, semoga kau suka, dan harap besarku ini jadi sebab Allah ikat hati kita makin erat. Dan menjadi sebab bertetangganya kita di JannahNya.
Maafkan aku, Kak, hampir saban hari mengganggu pikiranmu dengan pesan-pesan penuh pertanyaan. Terimakasih karena kerap membuatku merasa dijaga, membuatku merasa disayangi, membuatku merasa memiliki keluarga, membuatku merasa surga begitu di pelupuk mata, membuatku merasa rindu kerap menjelma, dan membuatku merasa menjadi adik yang paling dicinta.
Selamat hari guru, Bu Siti. Jadilah selalu teladan bagi kami; murid-muridmu. Selamat hari lahir, Kak Siti. Semoga Allah limpahkan berkah dan ridhoNya dalam setiap langkah.
           


Bumi Allah, 26 Nov 2015
Dari adikmu, pengagum hujan,

Ikvinia NF
continue reading Cahaya Senja

Sabtu, 21 November 2015

Kafein Tak Biasa

Belum sampai habis hitungan hari pada jemari; kita bertemu lagi. Belum sampai habis hitungan jam pada bayang; kita sudah berkomunikasi lagi. Tapi, telah lewat ribuan detik saya berpikir, berimaji, dan hasilnya lagi-lagi satu; tak sabar ingin bertemu. Saya selalu suka caranya beranalogi, caranya berbagi, caranya merangkul, caranya bercerita dan caranya menunjukkan geligi bersebab tawa. Hingga saya lagi-lagi tak kuasa menahan rindu. Pertemuan rutin selalu tertunai, tapi masih tak cukup untuk membayar. Meski saat bertemu, kepala saya kerap tertunduk malu berhadapan dengan benteng kokoh membajanya kekuatan ruhiy, fikri, dan jasadi. Allah Maha Pemurah, dengan KemurahanNya saya dititipkan pada orang yang luar bisa. Percayakah pada cinta pada pandangan pertama? Saya, ya. Tak perlu saya perjelas mengapa dan bagaimana, kau bisa membacanya bagai buku yang terbuka. Begitulah cinta dari Yang Maha Cinta, ditelusupkanNya cinta-cinta Rabbani pada setiap hati yang Dia kehendaki. DikaruniakanNya rasa berkasih dan bersayang pada sukma-sukma yang diizinkanNya. Agar ada pertalian persaudaraan antar sanubari yang imani. Dan begitu, saya mencinta dia, seorang Kakak yang tiada kata yang mampu memeta betapa hebatnya ia dengan segala kurang dan lebihnya. Dan begitulah saya, mengekspresi cinta dengan rerimbun kata. Jika kemarin saya katakan pada Kakak saat kita bertemu tak sengaja, betapa detak jantung saya berdegup tak biasa, itu bukan karena saya habis meminum kafein. Tapi, karena dengan izin Allah kita tunaikan pertemuan tanpa terencana. Dan bukankah pertemuan tak sengaja justru yang membuat hati berdesir? “Tetapi apalagi yang membuat hati berdesir selain pertemuan yang tidak disengaja?” Tere Liye dalam novel Kisah Sang Penandai
Salam Kak dari saya adik yang bandel yang sering meneror dengan pesan-pesan penuh dalih diskusi, pesan-pesan tak penting sebagai ekspresi rindu. Hehehe :D Semoga ridho.. :D Bumi Allah, 21 Nov 2015. 06:00 a.m. INF
continue reading Kafein Tak Biasa

Kamis, 19 November 2015

Sahabat Kopi, J

Lebih dari hitungan hari kita tak bersua, menatap lama, tergelak bersama, sampai habis suara karena tawa. Aku sering mengatakan pada yang lain bahwa kalian adalah rumah untukku pulang, saat ada sederet tanya serupa, "Apa yang kau lakukan saat jenuh melanda?".

Bayangan-bayangan itu melaju cepat terputar di dalam batok kepalaku, wajah-wajah konyol yang tak tau malu itu tiba-tiba menjelma bayang di dinding kamar. Kalian, selalu bisa membuatku tertawa dengan gelak yang bukan berpura, bahkan saat kalian menyebar untuk menumbuh dan kembangkan diri, berpisah kita satu sama lain.

Aku bersyukur pada Allah, telah menitipkanku pada satu tubuh yang mau dengan tulus untuk mendewasa bersama. Delapan perempuan yang kemudian tumbuh, bertransformasi menjadi dalang-dalang kebahagiaan bagi semesta, kendati sumbangannya tak lebih dari sejumput kata. Tapi semoga, tetap terhitung sebagai bukti adanya kita.

Delapan perempuan itu memiliki satu nama dengan tujuh huruf alfabetika yang vokal dan konsonannya berselang-seling akur selaras. Didahului huruf ke-13 dan diakhiri dengan huruf serupa ular. Lalu, nama itu menyusut jadi empat huruf, meninggalkan tiga huruf terakhir. Dan kini, hanya tinggal satu huruf bertahan sebagai panggilan popular di antara kita, huruf itu huruf ke 10. Aku berpikir, ini adalah bukti kita memang tak perlu berpanjang kata. 

Mungkin tak perlu lagi kuteruskan untaian alfabetika agar menjadi ribuan kata, kata menjelma ratusan alinea, dan pelbagai alinea menjadi buah yang bisa kau baca; bahwa aku merindu. Kita saling tau, obat rindu adalah bertemu. Maka cukup bagi kita untuk saling melontar sapa dan berkata, "Ngopi, yuk."



Salam,

INF

continue reading Sahabat Kopi, J