Selasa, 07 Mei 2013

RAKER




Pada minggu terakhir bulan ke tiga masehi, tepatnya sedari tanggal 22-24 Maret, para pengurus SIGMA TV UNJ (Sinematografi Mahasiswa dan Televisi Universitas Negeri Jakarta) yang baru berbondong-bondong bertolak ke daerah Puncak, Bogor. Bukan untuk bersenang-senang dan menikmati alam, melainkan untuk mendemokan setiap program kerja yang telah dibentuk oleh setiap divisi, biro, sekretaris, dan bendahara dalam rangkaian acara Rapat Kerja.
Seluruh pengurus tiba di tujuan pada pukul 22:00 WIB rombongan pengurus SIGMA TV sampai di tempat tujuan. Dimulai dengan pembukaan yang dibuka oleh Ketua Terpilih SIGMA TV UNJ yang anyar yaitu Nurul Khansa Fauziah, rangkaian acara RAKER berjalan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan oleh para panitia acara. Hingga pada keesokan harinya, pada tanggal 23 April pukul 09:00 WIB, rapat kerja SIGMA TV UNJ dimulai dengan presentasi dari Divisi Film yang dikepalai oleh Muhammad Budiman kemudian dilanjutkan oleh Divisi Jurnalistik dan TV dengan kepala seorang perempuan bernama Gelar Gelora Mestika.
Atap yang melindungi SIGMA TV UNJ adalah dari film dan liputan dan acara-acara teve. Dari itulah, Divisi Film telah merundingkan sebelumnya untuk mepresentasikan program kerja yang lebih maju dari sebelumnya. Sang kepala divisi menguraikan bahwa program kerja dari Divisi Film diantaranya ‘Pembuatan 13 Film dalam Satu Periode’, ‘Layar Iket’, dan ‘Lomba Film se-Gedung G’. Ia menuturkan program kerja yang terakhir disebut adalah program kerja baru untuk mendekatkan diri dengan keluarga di Gedung G.
Lain halnya dengan Divisi Jurnalistik dan Televisi yang sering disingkat DJT, orang-orang lapangan ini telah membuat program kerja yang bersifat continue yakni ‘Liputan’, ‘Program TV yang Berjudul REMAS (Rekomendasi Mahasiswa) dan MAMEN (Mahasiswa Komen)’, dan lainnya. Tika, Kepala Divisi Jurnalistik dan TV menjelaskan bahwa kedua acara TV itu akan berlangsung tiap bulannya, sama seperti program tahun lalu, yang nantinya akan diunggah ke channel Youtube dengan kerjasama Divisi HUMAS.
Sebagai orang-orang yang mengurusi SDM, Divisi PSDM mendemokan program kerja mereka dengan tajuk ‘PCAB (Penerimaan Calon Anggota Baru)’, ‘OAB (Orientasi Anggota Baru)’, serta ‘WASIT alias Wajib Sinematografi’. Dani Purnama Junaedi, sebagai kepala divisi menjelaskan bahwa program WASIT akan diikuti oleh seluruh pengurus dalam kurun waktu kurang lebih satu bulan yang dipimpin oleh seorang pengajar yang memiliki pengalaman dan kompeten di bidangnya. Pengajar ini adalah senior dan alumni SIGMA TV yang akan diminta untuk mengajari para anggota SIGMA TV. Wajib Sinematografi ini terdiri dari materi-materi Skenario, Kamera, Peliputan, Penyuntingan Video, dan Penyutradaraan. Setelah mengikuti WASIT, para peserta akan dievaluasi dengan membuat film dan diberikan sertifikat, tanda telah mengikuti Wajib Sinematografi.
Nida Ansadena selaku KADIV (kepala divisi) HUMAS bersama para staffnya, pun ikut mempresentasikan beberapa program kerjanya selama satu periode kepengurusan. Di antaranya, ‘Anjangsana Rektorat dan Gedung G’, ‘Bulletin’, ‘Goes to Faculty’, ‘SIGMA’s Birthday’ dan lainnya. Nida menuturkan bahwa Goes to Faculty adalah program kerja yang di mana HUMAS beserta Divisi Film dan Jurnalistik TV akan bekerjasama dan pergi ke tiap fakultas untuk memberikan program-program TV dan film-film SIGMA TV, yang nantinya disiarkan melalui televisi-televisi yang ada di fakultas.
Tak ada yang baru dari Biro Rumah Tangga yang dikepalai oleh Mufti Fadhillah. Masih sama seperti tahun lalu. Namun, besar harapan akan sumber daya manusia yang ada SIGMA TV dalam menyulap sekretariat menjadi nyaman dan seluruh anggota menjadi disiplin. Sama halnya dengan Sekretaris dengan kepala divisi Arie Anindita, tak ada yang baru, hanya pembuatan mading SIGMA TV yang kini telah terlaksana. Sedang Bendahara yang dikepalai oleh Alvina, kini memiliki program kerja ‘Uang Kas’ tiap bulannya. Uang tersebut akan dipakai untuk menutupi kekurangan-kekurangan yang dikhawatirkan ada.
Tidak ada atap yang mampu melindungi jika tak ada tiang yang menopang dengan kokoh. Untuk itulah komponen-komponen lain di dalam organisasi sungguh penting untuk memperkuat. Tiang-tiang kokoh di SIGMA TV adalah divisi-divisi lain di luar Film dan Jurnalistik dan TV, yakni Divisi PSDM yang mengurusi Sumber Daya Manusia di SIGMA TV, Divisi HUMAS yang memiliki wewenang dalam hubungan masyarakat baik internal maupun eksternal kampus, Biro Rumah Tangga atau dikenal juga kesekretariatan yang mengurusi sumber daya di dalam SIGMA TV di luar SDM, Biro Rumah Tangga atau Biro RT merupakan barikade terdepan dari ‘rumah’ SIGMA TV. Ada pula tangan kanan dan kiri sang Ketua Umum yakni Sekretaris dan Bendahara. Seluruh komponen ini saling berintegrasi dalam sistem yang diusung oleh organisasi formal SIGMA TV. Diharapkan setelah RAKER ini, seluruh program kerja yang telah diusung akan berjalan dengan baik. Pun semangat kekeluargaan dari organisasi ini tak luntur di tiap anggota. Seperti yang disebutkan oleh salah satu senior, Sandy Hermawan pada RAKER tahun lalu, bahwa RAKER bukan Rapat Kerja melainkan Rapat Kekeluargaan.

INF
continue reading RAKER

Muffin and Azriel



Takkan kubiarkan selang sedikitpun pandangan memancang itu lapuk terpatahkan kala. Pikiranku, aku takkan menyerah untuk mendapatkan hati sang pujangga. Semat jari pada diri sendiri telah kuusung sedari setahun lalu. Tak sepersekian detikpun aku biarkan memoar itu hanyut.


Memang ini bukanlah suatu hal yang wajar—bagiku sendiri—menyukai pria yang bahkan jauh lebih ‘cantik’ dari diriku. Setahun lalu, aku mulai dekat dengan dia, setelah saling kenal di satu tahun sebelumnya. Tak ada yang salah dari wajahnya yang elok dan rupawan, serta tatanan pakaian dan segalanya sungguh perlente bak artis kota. Belum hilang dari ingatanku caranya berjalan laiknya di atas catwalk seperti model internasional. Aku tak pernah kuasa menyimpan kesima. Sayangnya, seluruh keindahan yang terpancar dari dirinya hampir sama seperti genderku—selain wajah dan namanya.

Dear, coba lihat pria di arah jam 1. Oh, kekarnya!” celetuknya riang.


Aku hanya mengangguk dan tersenyum getir ketika dia mengatakan hal serupa.
Bukan, dia bukan seorang gay—entahlah—menurut penuturannya ia pernah menjalin hubungan dengan seorang gadis yang aku tak tahu dan tak mau tahu. Well, terkadang memang pertanyaan-pertanyaan dari rasa penasaran yang tinggi melurung begitu saja dalam pikiranku, tak pernah sekalipun berani kuluncurkan lewat indra wicara. Tidak begitu penting.

“O, love, ada apa? Mengapa bermuram durja?”


Ya Tuhan, bagaimana bisa aku lepas dari jerat perasaan pada pria ‘cantik’ ini jika sikap baiknya sungguh melenakanku? Tidak hanya sekali aku mencoba untuk berdamai dengan perasaanku dan mengikhlaskan dia dalam dunia yang ia mau. Dan tidak jarang dia dengan segala perhatiannya mendatangiku membawa suka. Meski aku tahu ia memang Zeus, tak memilih target dari kebaikan-kebaikannya.

“El, bagaimana keadaanmu? Sudah baikan? Sepuluh menit lagi aku sampai ke kondominiummu dengan Zoey dan Jean.”


Aku merasa kesadaranku telah dikompulsi makhluk astral hingga membawaku ke dalam alam nirsadar. Pasalnya, seluruh kudapan yang terhidang darinya tinggal remah tak berguna di dasar meja kaca. Dan balasan atas kelakuanku adalah tatapan tajam yang menembus ubun-ubun dari dua pasang mata di pemburit kursi berbeda.


“Dave, apa yang kau tambahkan dalam adonan muffinmu hingga Elly begitu menikmatinya?” celetuk Zoey. Aku melihatnya menyenggol pinggul Dave.

Well, kini kau tahu siapa yang hebat dalam membuat kudapan senja, girls.” Dave terkekeh geli.

“Tidak, tidak, tidak! Kurasa El sudah melihat Azriel mengintai nyawanya, jadi ia melahap seluruh hidangan di hadapannya selagi bisa,” tandas Jean.

“O, Jean, apa yang kau bicarakan? Itu terlalu kejam!” hardik Dave.


Kekehanku mendadak beku. Pun dua putri kampus itu. Tatapan kami terpancang pada Dave yang memberungut tak jelas. Candaan yang dilontarkan oleh Jean sangat sudah biasa, bahkan menjadi ritual tiap pertemuan kami berempat.

“Jean, harusnya kau menjaga perasaan El. Dia tengah sakit dan kau membawanya ke batas asa. Kau pikir dia sedang sekarat?” Dave mengoceh menceramahi Jean.


Netraku menoleh pada Jean, pun Jean dan Zoey. Tatapan kamu bersirobok, sama-sama mengusung tanya. Namun, jauh daripada itu, aku merasa beruntung tak kepalang. Rasanya seluruh cahaya langit meluruh hanya untuk diriku.


Tentu saja, ribuan taksonomi tak pernah cocok dalam memetakan perasaan yang kukandung dalam kalbu manakala Dave berlaku seperti ini. Aku selalu bahagia dengan langgamnya mengulum kalam dan kata, apalagi dengan lagak penuh simpati dan empatinya. Ya, kecuali ketika pujian yang beringsut dari bibir itu untuk memetakan kekaguman pada bisep-bisep kekar milik wajah tampan.

“Jangan berlebihan, Dave. Empatimu tak selayaknya membuat ringkingan gelak El tersabotase,” protes Zoey. Ia menepuk pundak landai Dave dengan ringan.


Tak apa, aku suka itu. Aku hanya mampu mengungkapkan itu pada dasar tenggorokanku. Dave beringsut mendekatiku, ia duduk di birai kasur.


“Jangan ulangi itu lagi, Jean!” Dave masih dengan wajah kesalnya menatap Jean.

“O, ayolah D, itu hanya kelakar ritual kita, tak ada yang salah dengan candaan Jean. Kenapa kau begitu marah?” Aku menepuk-nepuk pundak Dave; seperti yang dilakukan Zoey.


Alih-alih merasai aura tegangnya mengendur, aku membatasi gerak-geriknya dengan tatapanku yang tak ia sadari. Zoey dan Jean hanya mengulum senyum kemudian bercanda mengejek Dave. Sedang Dave mengalihkan pandangan padaku, bersamaan dengan candaan-candaan mengenainya meluncur dari kedua bibir jelita di dekat kami. Rautnya meramah, mulutnya membulat; siap meluncurkan kalam. Ia menghadapkan wajahnya padaku, hingga aku mampu merasai napas berbau apple cidar dari mulutnya.

“Aku hanya tak ingin kehilangan sahabat baik sepertimu, Elizabeth,” lirihnya di telingaku. Hatiku kebas. Degupan jantungku lebih lekas dari normal.

Ya, aku sahabat baiknya. Pun seperti Zoey dan Jean. Kami hanya bersahabat. Kendati ujung hatiku tetap meregup asa atas rasa yang lebih darinya. Tak ada kendati dan akan tetapi.


FIN
continue reading Muffin and Azriel

MAJELIS


MAJELIS
Seperti pernikahan, meminang dahulu baru menikah, pun dengan tulisan. Aku rasa itu adalah kalimat terakhir yang aku ucapkan untuk salah satu teman karibku. Aku tak lagi bersirobok tatap dengan mereka.

Aku tak pernah ingin menjauh dari siapapun, dan tak pernah mau hanya mendekati satu komuni. Jiwaku bebas, tak pernah suka dengan ikatan. Pikiranku rasional—mungkin licik—selalu ingin mendapatkan sesuatu dari yang aku temui. Aku mencintai kebebasan dan meminang kebahagiaan. Bukan maksudku mengatakan bahwa dengan mereka aku tak mendapat bahagia. Justru bersama merekalah aku lahir dan merasai tumbuhkembang, kendati tumbuhkembangku berbeda.

Bisa jadi aku berlebihan, menilai pertemuan kami sebagai mutiara di mulut kerang. Hingga sederet aksara menyembul dari buah pikiran salah satu dari kami untuk menjadi nama koloni kami—yang konon nama itu telah dikenal seantero angkatan sejurusan.

Tujuh deret alfabetika yang dimulai dengan huruf ke 13 dan disusul enam huruf berikutnya dengan proporsi pas antara konsonan dan vokal. Tak ada vokal yang menyongsong dan berderet dengan vokal lain, pun begitu dengan konsonan. Tujuh huruf yang diakhiri oleh konsonan berbentuk seperti ular. Namun, aku baru berpikir arti yang baik untuk nama itu. Mungkin tepatnya sebuah asa untuk diriku sendiri.
Aku merasa bersalah karena tak dekat dengan mereka akhir-akhir ini, meskipun kurasa mereka tak masalah dengan keraiban diriku dalam koloni dan mendekati koloni lain. Aku ingin kembali datang bergabung, dan terlalu banyak tapi membanjiri. Ketakutanku adalah ketika aku kehilangan tegur sapa yang mencair dan senyum melumer dari mulut mereka untukku. Dan jika sudah seperti itu, haruskah aku kembali sendiri dan mencumbui layar yang merusak mataku demi membunuh sepi?


Aku tahu kelemahanku, aku terlalu banyak bicara dengan mereka, dan sepertinya kelakarku tak cocok untuk selera tinggi yang mereka punya—terlalu membosankan. Seperti anekdot kelam yang langsung bisa dinalar hanya dengan mendengar huruf pertamanya saja. Dan bisa jadi aku mengesalkan seperti yang disindir oleh salah satu dari kami, yang pilihan katanya sungguh menohok dan membuatku berpikir untuk tahu diri.


Jika ada kata yang lebih tinggi dari peumpamaan rindu, aku akan pakai kata itu untuk menyusun kalam-kalam ini agar lebih indah. Aku rindu berada di dekat mereka, aku bahkan rindu ketika aku kesal karena tidak diperhatikan dan ketika rangkulan hangatku ditolak oleh mereka. Aku rindu segala elegi yang terbangun untuk citraku dari mata mereka. Kendati aku masih membenci kebiasaan menginterupsi opini seseorang di antara kami.


O, aku sampai lupa menjabat tangan salah satu handai karib demi menggelontorkan ucapan selamat ulang tahun dengan serentet doa basi namun bukan berarti seperti sapaan lepas bertemu kawan anyar di jalan.




Rabu, 08 Mei 2013, 01.33 a.m
continue reading MAJELIS