Selasa, 10 September 2013

Tanahku Sayang

TANAHKU SAYANG

Tanah, apakah kau tak pernah merasakan sakit saat aku menginjakmu?
Saat kami berpijak padamu selalu? Apakah kau tak pernah sakit? Tak pernah merasa dikhianati? Merasa sangat rendah? Merasa sakit hati? Saat kami melangkah diatasmu?


Tanah, pernahkah kau merasa dibuang? Pada kami yang kadang luput untuk menciumimu, bersujud diatasmu? Aku yang pongah, menjadikanmu hanya sebagai lahan pemanjaan nafsu, serakah, dan tamak? Kami yang sombong dan angkuh, menjadikanmu sebagai tempat membuang ludah dan dahak?


Tanah, apa kau tak pernah sakit hati? Padahal Adam, bapak kami, adalah bagian darimu, begitupun kami. Padahal jantung hatinya dan jantung hati kami diambil dari jantung hatimu, meski saat itu engkau tidak ridha dan menjerit kesakitan. Engkau menangis ketika Tuhan mengambil jantung hatimu untuk dijadikan sebagai jantung hatinya dan jantung hati kami, yang sekarang bertingkah seolah raja dan dengan tega menjadikanmu tempat pembuangan sampah.


Tanah, damaikah engkau saat kami menginjakmu? Karena inilah titah Tuhanmu. Ridhakah engkau saat kami melangkah diatasmu untuk berjalan menuju kemakrufan? Pernahkah kau tersenyum, ketika kami meluruhkan air mata diatasmu dalam sujud ditengah malam kami? Pernahkah?


Tanah, kamilah makhluk pongah, merasa khalifah dan menjadikan itu sebagai senjata. Untuk menindasmu, membakarmu, menyiramimu dengan air kotor, dan bahkan melukaimu dengan penggalian kami yang hanya untuk memenuhi hasrat kami.


Tanah, bagaimana saat kami nanti ditidurkan di dalammu? Apakah  kau akan menghimpit jasad kami dengan segala kebencianmu karena polah bodoh dan tingkah keji kami? Adakah maaf darimu, tanah? Pada kami yang acap kali khilaf dan keterlaluan karena kejam padamu.


Tanahku sayang, aku ingin memelukmu, merasakan sakit yang engkau derita saat aku menginjak-injakmu. Maafkan aku, tanahku.
continue reading Tanahku Sayang

Ruang Kalbu: 06092011

Seseorang hadir di dekatku ketika aku tengah menatap langit malam sendirian. Ia mendekatiku. Tak kuhiraukan hadirnya, aku berjibaku menggerayangi langit malam yang perlente dengan aksesorisnya.

"Apa yang kau harapkan dari malam yg membuat harimu menjadi gelap?" tanyanya retorik.


Aku terhenyak, kemudian menatapnya. Kosong. Hampa. Tak ada apapun di sekitarku, selain aku dgn pemikiranku. Aku tersenyum, menepuki kepalaku yang kurasa sangat bodoh dan lumpuh. Pertanyaan itu hadir dari diriku sendiri. Aku tak sadar.

"Apakah aku mati?" Mungkin. Sebagian diriku telah hilang. Selama ini, aku hanya jadi penonton dalam kehidupanku sendiri. Aku terlalu merasa rendah. Hingga hanya harap yang lebih besar dari usahaku yang terbilang nol, padahal Tuhan memberiku potensi untuk membentuk dan membangun. Dan malam, tetap menjadi hal yang paling eksotis di dunia ini, sebelum akhirnya aku mati.





Ruang Kalbu: 06092011
09.18pm
continue reading Ruang Kalbu: 06092011

MAUT 03-03-2012


Maut? Apa itu maut? Ya, orang bilang semua yang bernyawa akan datang padanya. Para santiaji, pendakwah, dan orang-orang tua, telah menyadurnya dari kitab dan skripta petunjuk para pemeluk agama. 


Dulu, aku paham, tiap detik rasanya maut berdansa-dansa di depan mata. Hanya diam-diam orang menanggapi. Sang maut, sang kelam tanpa bentuk tanpa wujud, hanya setumpuk mata rantai lepas, mata rantai tanda tanya. Aku, kini tak paham. Bagaimana dia merenggut hak-hak hidup para makhluk. Entah, dia adalah baik atau raja zalim adanya, aku juga tak tahu. Yang jelas, kita akan datang padanya.


2 kali, telah kurekam baik-baik orang-orang yang pergi. Kakekku, pria paling tangguh dan perkasa di dunia, paling hebat dan terpandai meski tak mengecap bangku sekolah, nomor satu di dunia. Yang paling tangguh itu, meregang nyawa di hadapanku. Hatiku terguncang. Dan setahun telah terlampaui.


5 hari yang lalu, orang yang tak kukenal. Bahkan namanya, tak kuketahui barang sesuku pun. Seorang pria lagi. Aku tak saksikan kisahnya dalam pertempuran melawan penyakit dan saat sakaratul maut. Aku tahu, ia mengidap kanker, entah kanker apa. Putrinya yang baik hati itu telah banyak bercerita padaku.


Dia keturunan Han, entah Kek, Hokian, atau Tongsan, aku telah lupa. Atau barangkali dia tak pernah memberitahukannya padaku. Tak penting mungkin baginya. Yang jelas kami bersahabat baik. Dan pada hari Papanya hendak dikremasi, ponselku memerlukan bergetar demi memberi tanda sebuah pesan singkat masuk, tentu itu dari dia. Isinya:

Dear Ikvi,
Kenapa kamu sering menghilang saat saya membutuhkan? Sudah 6 sms saya kirim dan 4 kali saya coba hubungi kamu, tapi tak ada jawaban. Pada hari yang sama, Papa saya meninggal. Saya jadi enggan memaafkan kamu lagi.

Ching


Begitu saja, sederhana. Dan itu membuatku jatuh ke lantai sesaat setelah membacanya. Aku jadi enggan pergi kemanapun. Perbukuan kakiku melemas, tak kuasa untuk bangkit. Adakah ia benar-benar menutup pintu maafnya dan menghapus namaku dari daftar pertemanan hidupnya? Aku kenal dia, memang hanya dari jejaring sosial setahun lalu, namun jauh lebih dekat dari teman-teman yang jelas wujudnya.
Akhirnya, kujelaskan apa yang bisa kuterangkan. Jawabnya:

Mungkin
Tak kubalas lagi pesannya. Sudah tak kuasa rasanya aku mengetikkan deretan huruf di layar ponsel. Aku merasa tak lagi ada hak sipil. Laiknya para tahanan politik pada masa Orde Baru dulu. Sifatku yang individualis dan sedikit a-sosial—kata orang—membuatku hanya menyendiri. Kurasa hakku hanyalah bernapas. Sampai pesan singkat berikutnya datang.


Sebenarnya saya menganggapmu orang penting. Saya memerlukan sms kamu terlebih dahulu sebelum memberitakan ke teman-teman.


Bagi seorang perasa dan cengeng sepertiku, pesan itu tak ubahnya wejangan mendiang Kakek sebelum pulang, layaknya pelukkan rindu Nenek setelah seminggu tak bertemu, seperti kecupan pengampunan Mama saat Lebaran. Tak ayal, air mataku meluruh jatuh terpelesat menciumi pipiku.


Entah pesannya tulus atau tidak, aku merasa sangat terharu. Seorang yang jauh dariku, bahkan belum tahu batang tubuhku, pahatan rupaku, dan pelukisan sikapku, telah dengan berani menganggapku orang penting. Orang penting! Apa yang ada dalam pikirannya saat memutuskan opini seperti itu untuk kesan pada diriku? Aku tak paham apa yang ada dalam isi batok kepalanya. Kenapa begitu ceroboh menganggapku seagung itu untuk orang sebesar dia? Ah, benar kata Pramoedya Ananta Toer,

“Meski tatapanmu setajam elang, pikiranmu seluas lautan, pengetahuanmu tentang manusia, takkan bisa kemput!”

Betul juga kata beliau, “Seorang yang pandai, harus sudah adil sejak dalam pikiran hingga perbuatan.”


Aku pikir, takkan kutemukan orang yang seperti itu, namun, jauh dari jazirahku, telah hidup seorang Han 
yang pekerja keras dan rendah hati. Ai, apa-apaan aku ini? Harusnya malu pada para pendatang dan keturunannya itu. Aku orang pribumi yang harusnya jauh lebih baik malah jauh merasa bobrok akhlak saat diingatkan oleh Indo yang low profile itu. Atau memang aku benar-benar mengikuti para pribumi lainnya, yang sedari dulu telah takabur?


Pesan-pesan dari seorang Han itu, membuatku tersadar, tak hanya kutemukan di buku-buku dan di film-film tentang kerendahan hati kelompok mereka. Lebih dari itu, telah terpetakan pula kalimat yang kupikir hanya basa-basi dari salah satu pujangga Balai Pustaka, Pramoedya Ananta Toer. Ai, aku memang benar-benar picik dan jahat.

Janjiku, takkan kuulangi yang seperti itu!





Ruang Kalbu, March 3, 2012
21:24 PM
continue reading MAUT 03-03-2012

Senin, 09 September 2013

Cermin Untuk Diri Sendiri

Cermin Untuk Diri Sendiri


Backsound: Totalitas Perjuangan



Masih terngiang di telinga saya, derap semangat para Mahasiswa Baru menyanyikan yel-yel jurusan mereka, yang menurut mereka terbaik, ditampilkan di depan jurusan-jurusan lain dalam naungan Fakultas Ilmu Pendidikan UNJ. Terlebih, sepenggal bait dari sederet yel-yel milik Mahasiswa Baru jurusan Manajemen Pendidikan, bukan bermaksud primordial, tapi memang itu menggugah isi dari batok kepala saya untuk berpikir. Begini bunyinya:


“Mahasiswa agen perubahan/Jadilah pemimpin masa depan/Jangan mengeluh//Kita mahasiswa!//”



Tiap kali terjaga dari buai mimpi, dengan mata yang masih terkantuk-kantuk, saya sering menampar diri saya dengan bait yel-yel itu. Kemudian saya bertanya. “Perubahan seperti apa yang telah dilakukan mahasiswa masa kini?”, “Adakah pemimpin-pemimpin sekarang adalah mahasiswa yang menganggap dirinya dahulu sebagai calon pemimpin masa depan karena ia berperan sebagai agent of change sebagai mahasiswa ketika masanya?”, dan “Seberapa banyak mahasiswa yang sering bersyukur karena telah menjadi sebenar-benarnya mahasiswa? Yang tidak hanya duduk di kelas dan mendengar kuliah dari bapak dan ibu dosen kemudian pulang begitu saja ketika jam kuliah berakhir.”



Saya sendiri langsung bercermin atas pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan itu. Sejatinya, mahasiswa adalah agent of change, social control, iron stock, dan moral force, itulah yang pertama kali saya dengar di kuliah pertama saya dua semester lalu. Sementara Tri Dharma Universitas yaitu pengabdian masyarakat, penelitian dan pengembangan, dan pendidikan atau pengajaran.



Saya merasa tersentil juga atas pertanyaan teman saya, dia bertanya kenapa presiden tidak ada yang muda, ya? Maksudnya yang fresh graduate, atau paling tidak yang baru lulus 2-3 tahun, trus menjabat jadi pemimpin bahkan presiden, kan ilmunya masih fresh tuh buat diimplementasikan. Kemudian saya menjawab dengan santai karena tidak tahu, mungkin yang dicari pengalaman. Ngurus negara ‘kan ga segampang ngurus makan buat badan sendiri.



Nah, sekarang saya ikut-ikutan memiliki pertanyaan serupa dengan teman saya itu. Dan menurut teori saya, mahasiswa yang sedari pertama lahir sebagai mahasiswa sudah berperan sebagaimana peran mahasiswa seutuhnya, yang tidak hanya bekerja keras demi Indeks Prestasi sempurnya, tapi juga mengamalkan Tri Dharma Universitas dan 4 perannya itu, kenapa tidak mahasiswa yang menjadi pemimpin? Bahkan memimpin negara? Pengalamannya pasti sudah banyak juga sedari menjadi mahasiswa baru hingga bergelar Doktor misalnya? Apalagi kekritisan mahasiswa yang tidak bisa dianggap remeh jika menyangkut soal rakyat dan negara.



Jadi, kenapa tidak juga saya memulai dari diri saya untuk berperan sebagai mahasiswa dan mengamalkan Tri Dharma Universitas karena saya lahir sebagai mahasiswa. Kemudian teman-teman mahasiswa di negeri timur ini juga melakukan hal yang juga lebih spektakuler dibanding hanya duduk dan mendengar isu-isu. Bukankah mahasiswa adalah pemimpin masa depan? Generasi emas? Well, memang harus diawali dari diri sendiri untuk berjiwa nasionalis dan sadar akan peran sebagai pemuda dan mahasiswa.




Ruang Kalbu, 07-09-2013
INF
continue reading Cermin Untuk Diri Sendiri