MAJELIS
Seperti pernikahan, meminang dahulu
baru menikah, pun dengan tulisan. Aku rasa itu adalah
kalimat terakhir yang aku ucapkan untuk salah satu teman karibku. Aku tak lagi
bersirobok tatap dengan mereka.
Aku
tak pernah ingin menjauh dari siapapun, dan tak pernah mau hanya mendekati satu
komuni. Jiwaku bebas, tak pernah suka dengan ikatan. Pikiranku rasional—mungkin
licik—selalu ingin mendapatkan sesuatu dari yang aku temui. Aku mencintai
kebebasan dan meminang kebahagiaan. Bukan maksudku mengatakan bahwa dengan
mereka aku tak mendapat bahagia. Justru bersama merekalah aku lahir dan merasai
tumbuhkembang, kendati tumbuhkembangku berbeda.
Bisa
jadi aku berlebihan, menilai pertemuan kami sebagai mutiara di mulut kerang.
Hingga sederet aksara menyembul dari buah pikiran salah satu dari kami untuk
menjadi nama koloni kami—yang konon nama itu telah dikenal seantero angkatan
sejurusan.
Tujuh
deret alfabetika yang dimulai dengan huruf ke 13 dan disusul enam huruf
berikutnya dengan proporsi pas antara konsonan dan vokal. Tak ada vokal yang
menyongsong dan berderet dengan vokal lain, pun begitu dengan konsonan. Tujuh
huruf yang diakhiri oleh konsonan berbentuk seperti ular. Namun, aku baru
berpikir arti yang baik untuk nama itu. Mungkin tepatnya sebuah asa untuk
diriku sendiri.
Aku
merasa bersalah karena tak dekat dengan mereka akhir-akhir ini, meskipun kurasa
mereka tak masalah dengan keraiban diriku dalam koloni dan mendekati koloni
lain. Aku ingin kembali datang bergabung, dan terlalu banyak tapi membanjiri. Ketakutanku
adalah ketika aku kehilangan tegur sapa yang mencair dan senyum melumer dari
mulut mereka untukku. Dan jika sudah seperti itu, haruskah aku kembali sendiri
dan mencumbui layar yang merusak mataku demi membunuh sepi?
Aku
tahu kelemahanku, aku terlalu banyak bicara dengan mereka, dan sepertinya
kelakarku tak cocok untuk selera tinggi yang mereka punya—terlalu membosankan.
Seperti anekdot kelam yang langsung bisa dinalar hanya dengan mendengar huruf
pertamanya saja. Dan bisa jadi aku mengesalkan seperti yang disindir oleh salah
satu dari kami, yang pilihan katanya sungguh menohok dan membuatku berpikir
untuk tahu diri.
Jika
ada kata yang lebih tinggi dari peumpamaan rindu, aku akan pakai kata itu untuk
menyusun kalam-kalam ini agar lebih indah. Aku rindu berada di dekat mereka,
aku bahkan rindu ketika aku kesal karena tidak diperhatikan dan ketika
rangkulan hangatku ditolak oleh mereka. Aku rindu segala elegi yang terbangun
untuk citraku dari mata mereka. Kendati aku masih membenci kebiasaan menginterupsi
opini seseorang di antara kami.
O,
aku sampai lupa menjabat tangan salah satu handai karib demi menggelontorkan
ucapan selamat ulang tahun dengan serentet doa basi namun bukan berarti seperti
sapaan lepas bertemu kawan anyar di jalan.
Rabu, 08 Mei 2013,
01.33 a.m
0 komentar:
Posting Komentar