Takkan
kubiarkan selang sedikitpun pandangan memancang itu lapuk terpatahkan kala.
Pikiranku, aku takkan menyerah untuk mendapatkan hati sang pujangga. Semat jari
pada diri sendiri telah kuusung sedari setahun lalu. Tak sepersekian detikpun
aku biarkan memoar itu hanyut.
Memang
ini bukanlah suatu hal yang wajar—bagiku sendiri—menyukai pria yang bahkan jauh
lebih ‘cantik’ dari diriku. Setahun lalu, aku mulai dekat dengan dia, setelah
saling kenal di satu tahun sebelumnya. Tak ada yang salah dari wajahnya yang
elok dan rupawan, serta tatanan pakaian dan segalanya sungguh perlente bak
artis kota. Belum hilang dari ingatanku caranya berjalan laiknya di atas catwalk seperti model internasional. Aku
tak pernah kuasa menyimpan kesima. Sayangnya, seluruh keindahan yang terpancar
dari dirinya hampir sama seperti genderku—selain wajah dan namanya.
“Dear, coba lihat pria di arah jam 1. Oh,
kekarnya!” celetuknya riang.
Aku
hanya mengangguk dan tersenyum getir ketika dia mengatakan hal serupa.
Bukan,
dia bukan seorang gay—entahlah—menurut
penuturannya ia pernah menjalin hubungan dengan seorang gadis yang aku tak tahu
dan tak mau tahu. Well, terkadang
memang pertanyaan-pertanyaan dari rasa penasaran yang tinggi melurung begitu
saja dalam pikiranku, tak pernah sekalipun berani kuluncurkan lewat indra
wicara. Tidak begitu penting.
“O,
love, ada apa? Mengapa bermuram
durja?”
Ya
Tuhan, bagaimana bisa aku lepas dari jerat perasaan pada pria ‘cantik’ ini jika
sikap baiknya sungguh melenakanku? Tidak hanya sekali aku mencoba untuk
berdamai dengan perasaanku dan mengikhlaskan dia dalam dunia yang ia mau. Dan
tidak jarang dia dengan segala perhatiannya mendatangiku membawa suka. Meski
aku tahu ia memang Zeus, tak memilih target dari kebaikan-kebaikannya.
“El,
bagaimana keadaanmu? Sudah baikan? Sepuluh menit lagi aku sampai ke kondominiummu
dengan Zoey dan Jean.”
Aku
merasa kesadaranku telah dikompulsi makhluk astral hingga membawaku ke dalam
alam nirsadar. Pasalnya, seluruh kudapan yang terhidang darinya tinggal remah
tak berguna di dasar meja kaca. Dan balasan atas kelakuanku adalah tatapan
tajam yang menembus ubun-ubun dari dua pasang mata di pemburit kursi berbeda.
“Dave,
apa yang kau tambahkan dalam adonan muffinmu
hingga Elly begitu menikmatinya?” celetuk Zoey. Aku melihatnya menyenggol
pinggul Dave.
“Well, kini kau tahu siapa yang hebat
dalam membuat kudapan senja, girls.”
Dave terkekeh geli.
“Tidak,
tidak, tidak! Kurasa El sudah melihat Azriel mengintai nyawanya, jadi ia
melahap seluruh hidangan di hadapannya selagi bisa,” tandas Jean.
“O,
Jean, apa yang kau bicarakan? Itu terlalu kejam!” hardik Dave.
Kekehanku
mendadak beku. Pun dua putri kampus itu. Tatapan kami terpancang pada Dave yang
memberungut tak jelas. Candaan yang dilontarkan oleh Jean sangat sudah biasa,
bahkan menjadi ritual tiap pertemuan kami berempat.
“Jean,
harusnya kau menjaga perasaan El. Dia tengah sakit dan kau membawanya ke batas
asa. Kau pikir dia sedang sekarat?” Dave mengoceh menceramahi Jean.
Netraku
menoleh pada Jean, pun Jean dan Zoey. Tatapan kamu bersirobok, sama-sama
mengusung tanya. Namun, jauh daripada itu, aku merasa beruntung tak kepalang.
Rasanya seluruh cahaya langit meluruh hanya untuk diriku.
Tentu
saja, ribuan taksonomi tak pernah cocok dalam memetakan perasaan yang kukandung
dalam kalbu manakala Dave berlaku seperti ini. Aku selalu bahagia dengan
langgamnya mengulum kalam dan kata, apalagi dengan lagak penuh simpati dan empatinya.
Ya, kecuali ketika pujian yang beringsut dari bibir itu untuk memetakan
kekaguman pada bisep-bisep kekar milik wajah tampan.
“Jangan
berlebihan, Dave. Empatimu tak selayaknya membuat ringkingan gelak El
tersabotase,” protes Zoey. Ia menepuk pundak landai Dave dengan ringan.
Tak apa, aku suka itu.
Aku hanya mampu mengungkapkan itu pada dasar tenggorokanku. Dave beringsut
mendekatiku, ia duduk di birai kasur.
“Jangan
ulangi itu lagi, Jean!” Dave masih dengan wajah kesalnya menatap Jean.
“O,
ayolah D, itu hanya kelakar ritual kita, tak ada yang salah dengan candaan
Jean. Kenapa kau begitu marah?” Aku menepuk-nepuk pundak Dave; seperti yang
dilakukan Zoey.
Alih-alih
merasai aura tegangnya mengendur, aku membatasi gerak-geriknya dengan tatapanku
yang tak ia sadari. Zoey dan Jean hanya mengulum senyum kemudian bercanda
mengejek Dave. Sedang Dave mengalihkan pandangan padaku, bersamaan dengan
candaan-candaan mengenainya meluncur dari kedua bibir jelita di dekat kami.
Rautnya meramah, mulutnya membulat; siap meluncurkan kalam. Ia menghadapkan
wajahnya padaku, hingga aku mampu merasai napas berbau apple cidar dari mulutnya.
“Aku
hanya tak ingin kehilangan sahabat baik sepertimu, Elizabeth,” lirihnya di
telingaku. Hatiku kebas. Degupan jantungku lebih lekas dari normal.
Ya,
aku sahabat baiknya. Pun seperti Zoey dan Jean. Kami hanya bersahabat. Kendati
ujung hatiku tetap meregup asa atas rasa yang lebih darinya. Tak ada kendati
dan akan tetapi.
FIN
:)
BalasHapusyah? masa cuma senyum, neng?
BalasHapus