Selasa, 07 Mei 2013

Muffin and Azriel



Takkan kubiarkan selang sedikitpun pandangan memancang itu lapuk terpatahkan kala. Pikiranku, aku takkan menyerah untuk mendapatkan hati sang pujangga. Semat jari pada diri sendiri telah kuusung sedari setahun lalu. Tak sepersekian detikpun aku biarkan memoar itu hanyut.


Memang ini bukanlah suatu hal yang wajar—bagiku sendiri—menyukai pria yang bahkan jauh lebih ‘cantik’ dari diriku. Setahun lalu, aku mulai dekat dengan dia, setelah saling kenal di satu tahun sebelumnya. Tak ada yang salah dari wajahnya yang elok dan rupawan, serta tatanan pakaian dan segalanya sungguh perlente bak artis kota. Belum hilang dari ingatanku caranya berjalan laiknya di atas catwalk seperti model internasional. Aku tak pernah kuasa menyimpan kesima. Sayangnya, seluruh keindahan yang terpancar dari dirinya hampir sama seperti genderku—selain wajah dan namanya.

Dear, coba lihat pria di arah jam 1. Oh, kekarnya!” celetuknya riang.


Aku hanya mengangguk dan tersenyum getir ketika dia mengatakan hal serupa.
Bukan, dia bukan seorang gay—entahlah—menurut penuturannya ia pernah menjalin hubungan dengan seorang gadis yang aku tak tahu dan tak mau tahu. Well, terkadang memang pertanyaan-pertanyaan dari rasa penasaran yang tinggi melurung begitu saja dalam pikiranku, tak pernah sekalipun berani kuluncurkan lewat indra wicara. Tidak begitu penting.

“O, love, ada apa? Mengapa bermuram durja?”


Ya Tuhan, bagaimana bisa aku lepas dari jerat perasaan pada pria ‘cantik’ ini jika sikap baiknya sungguh melenakanku? Tidak hanya sekali aku mencoba untuk berdamai dengan perasaanku dan mengikhlaskan dia dalam dunia yang ia mau. Dan tidak jarang dia dengan segala perhatiannya mendatangiku membawa suka. Meski aku tahu ia memang Zeus, tak memilih target dari kebaikan-kebaikannya.

“El, bagaimana keadaanmu? Sudah baikan? Sepuluh menit lagi aku sampai ke kondominiummu dengan Zoey dan Jean.”


Aku merasa kesadaranku telah dikompulsi makhluk astral hingga membawaku ke dalam alam nirsadar. Pasalnya, seluruh kudapan yang terhidang darinya tinggal remah tak berguna di dasar meja kaca. Dan balasan atas kelakuanku adalah tatapan tajam yang menembus ubun-ubun dari dua pasang mata di pemburit kursi berbeda.


“Dave, apa yang kau tambahkan dalam adonan muffinmu hingga Elly begitu menikmatinya?” celetuk Zoey. Aku melihatnya menyenggol pinggul Dave.

Well, kini kau tahu siapa yang hebat dalam membuat kudapan senja, girls.” Dave terkekeh geli.

“Tidak, tidak, tidak! Kurasa El sudah melihat Azriel mengintai nyawanya, jadi ia melahap seluruh hidangan di hadapannya selagi bisa,” tandas Jean.

“O, Jean, apa yang kau bicarakan? Itu terlalu kejam!” hardik Dave.


Kekehanku mendadak beku. Pun dua putri kampus itu. Tatapan kami terpancang pada Dave yang memberungut tak jelas. Candaan yang dilontarkan oleh Jean sangat sudah biasa, bahkan menjadi ritual tiap pertemuan kami berempat.

“Jean, harusnya kau menjaga perasaan El. Dia tengah sakit dan kau membawanya ke batas asa. Kau pikir dia sedang sekarat?” Dave mengoceh menceramahi Jean.


Netraku menoleh pada Jean, pun Jean dan Zoey. Tatapan kamu bersirobok, sama-sama mengusung tanya. Namun, jauh daripada itu, aku merasa beruntung tak kepalang. Rasanya seluruh cahaya langit meluruh hanya untuk diriku.


Tentu saja, ribuan taksonomi tak pernah cocok dalam memetakan perasaan yang kukandung dalam kalbu manakala Dave berlaku seperti ini. Aku selalu bahagia dengan langgamnya mengulum kalam dan kata, apalagi dengan lagak penuh simpati dan empatinya. Ya, kecuali ketika pujian yang beringsut dari bibir itu untuk memetakan kekaguman pada bisep-bisep kekar milik wajah tampan.

“Jangan berlebihan, Dave. Empatimu tak selayaknya membuat ringkingan gelak El tersabotase,” protes Zoey. Ia menepuk pundak landai Dave dengan ringan.


Tak apa, aku suka itu. Aku hanya mampu mengungkapkan itu pada dasar tenggorokanku. Dave beringsut mendekatiku, ia duduk di birai kasur.


“Jangan ulangi itu lagi, Jean!” Dave masih dengan wajah kesalnya menatap Jean.

“O, ayolah D, itu hanya kelakar ritual kita, tak ada yang salah dengan candaan Jean. Kenapa kau begitu marah?” Aku menepuk-nepuk pundak Dave; seperti yang dilakukan Zoey.


Alih-alih merasai aura tegangnya mengendur, aku membatasi gerak-geriknya dengan tatapanku yang tak ia sadari. Zoey dan Jean hanya mengulum senyum kemudian bercanda mengejek Dave. Sedang Dave mengalihkan pandangan padaku, bersamaan dengan candaan-candaan mengenainya meluncur dari kedua bibir jelita di dekat kami. Rautnya meramah, mulutnya membulat; siap meluncurkan kalam. Ia menghadapkan wajahnya padaku, hingga aku mampu merasai napas berbau apple cidar dari mulutnya.

“Aku hanya tak ingin kehilangan sahabat baik sepertimu, Elizabeth,” lirihnya di telingaku. Hatiku kebas. Degupan jantungku lebih lekas dari normal.

Ya, aku sahabat baiknya. Pun seperti Zoey dan Jean. Kami hanya bersahabat. Kendati ujung hatiku tetap meregup asa atas rasa yang lebih darinya. Tak ada kendati dan akan tetapi.


FIN

2 komentar: