Selasa, 10 September 2013

Tanahku Sayang

TANAHKU SAYANG

Tanah, apakah kau tak pernah merasakan sakit saat aku menginjakmu?
Saat kami berpijak padamu selalu? Apakah kau tak pernah sakit? Tak pernah merasa dikhianati? Merasa sangat rendah? Merasa sakit hati? Saat kami melangkah diatasmu?


Tanah, pernahkah kau merasa dibuang? Pada kami yang kadang luput untuk menciumimu, bersujud diatasmu? Aku yang pongah, menjadikanmu hanya sebagai lahan pemanjaan nafsu, serakah, dan tamak? Kami yang sombong dan angkuh, menjadikanmu sebagai tempat membuang ludah dan dahak?


Tanah, apa kau tak pernah sakit hati? Padahal Adam, bapak kami, adalah bagian darimu, begitupun kami. Padahal jantung hatinya dan jantung hati kami diambil dari jantung hatimu, meski saat itu engkau tidak ridha dan menjerit kesakitan. Engkau menangis ketika Tuhan mengambil jantung hatimu untuk dijadikan sebagai jantung hatinya dan jantung hati kami, yang sekarang bertingkah seolah raja dan dengan tega menjadikanmu tempat pembuangan sampah.


Tanah, damaikah engkau saat kami menginjakmu? Karena inilah titah Tuhanmu. Ridhakah engkau saat kami melangkah diatasmu untuk berjalan menuju kemakrufan? Pernahkah kau tersenyum, ketika kami meluruhkan air mata diatasmu dalam sujud ditengah malam kami? Pernahkah?


Tanah, kamilah makhluk pongah, merasa khalifah dan menjadikan itu sebagai senjata. Untuk menindasmu, membakarmu, menyiramimu dengan air kotor, dan bahkan melukaimu dengan penggalian kami yang hanya untuk memenuhi hasrat kami.


Tanah, bagaimana saat kami nanti ditidurkan di dalammu? Apakah  kau akan menghimpit jasad kami dengan segala kebencianmu karena polah bodoh dan tingkah keji kami? Adakah maaf darimu, tanah? Pada kami yang acap kali khilaf dan keterlaluan karena kejam padamu.


Tanahku sayang, aku ingin memelukmu, merasakan sakit yang engkau derita saat aku menginjak-injakmu. Maafkan aku, tanahku.
continue reading Tanahku Sayang

Ruang Kalbu: 06092011

Seseorang hadir di dekatku ketika aku tengah menatap langit malam sendirian. Ia mendekatiku. Tak kuhiraukan hadirnya, aku berjibaku menggerayangi langit malam yang perlente dengan aksesorisnya.

"Apa yang kau harapkan dari malam yg membuat harimu menjadi gelap?" tanyanya retorik.


Aku terhenyak, kemudian menatapnya. Kosong. Hampa. Tak ada apapun di sekitarku, selain aku dgn pemikiranku. Aku tersenyum, menepuki kepalaku yang kurasa sangat bodoh dan lumpuh. Pertanyaan itu hadir dari diriku sendiri. Aku tak sadar.

"Apakah aku mati?" Mungkin. Sebagian diriku telah hilang. Selama ini, aku hanya jadi penonton dalam kehidupanku sendiri. Aku terlalu merasa rendah. Hingga hanya harap yang lebih besar dari usahaku yang terbilang nol, padahal Tuhan memberiku potensi untuk membentuk dan membangun. Dan malam, tetap menjadi hal yang paling eksotis di dunia ini, sebelum akhirnya aku mati.





Ruang Kalbu: 06092011
09.18pm
continue reading Ruang Kalbu: 06092011

MAUT 03-03-2012


Maut? Apa itu maut? Ya, orang bilang semua yang bernyawa akan datang padanya. Para santiaji, pendakwah, dan orang-orang tua, telah menyadurnya dari kitab dan skripta petunjuk para pemeluk agama. 


Dulu, aku paham, tiap detik rasanya maut berdansa-dansa di depan mata. Hanya diam-diam orang menanggapi. Sang maut, sang kelam tanpa bentuk tanpa wujud, hanya setumpuk mata rantai lepas, mata rantai tanda tanya. Aku, kini tak paham. Bagaimana dia merenggut hak-hak hidup para makhluk. Entah, dia adalah baik atau raja zalim adanya, aku juga tak tahu. Yang jelas, kita akan datang padanya.


2 kali, telah kurekam baik-baik orang-orang yang pergi. Kakekku, pria paling tangguh dan perkasa di dunia, paling hebat dan terpandai meski tak mengecap bangku sekolah, nomor satu di dunia. Yang paling tangguh itu, meregang nyawa di hadapanku. Hatiku terguncang. Dan setahun telah terlampaui.


5 hari yang lalu, orang yang tak kukenal. Bahkan namanya, tak kuketahui barang sesuku pun. Seorang pria lagi. Aku tak saksikan kisahnya dalam pertempuran melawan penyakit dan saat sakaratul maut. Aku tahu, ia mengidap kanker, entah kanker apa. Putrinya yang baik hati itu telah banyak bercerita padaku.


Dia keturunan Han, entah Kek, Hokian, atau Tongsan, aku telah lupa. Atau barangkali dia tak pernah memberitahukannya padaku. Tak penting mungkin baginya. Yang jelas kami bersahabat baik. Dan pada hari Papanya hendak dikremasi, ponselku memerlukan bergetar demi memberi tanda sebuah pesan singkat masuk, tentu itu dari dia. Isinya:

Dear Ikvi,
Kenapa kamu sering menghilang saat saya membutuhkan? Sudah 6 sms saya kirim dan 4 kali saya coba hubungi kamu, tapi tak ada jawaban. Pada hari yang sama, Papa saya meninggal. Saya jadi enggan memaafkan kamu lagi.

Ching


Begitu saja, sederhana. Dan itu membuatku jatuh ke lantai sesaat setelah membacanya. Aku jadi enggan pergi kemanapun. Perbukuan kakiku melemas, tak kuasa untuk bangkit. Adakah ia benar-benar menutup pintu maafnya dan menghapus namaku dari daftar pertemanan hidupnya? Aku kenal dia, memang hanya dari jejaring sosial setahun lalu, namun jauh lebih dekat dari teman-teman yang jelas wujudnya.
Akhirnya, kujelaskan apa yang bisa kuterangkan. Jawabnya:

Mungkin
Tak kubalas lagi pesannya. Sudah tak kuasa rasanya aku mengetikkan deretan huruf di layar ponsel. Aku merasa tak lagi ada hak sipil. Laiknya para tahanan politik pada masa Orde Baru dulu. Sifatku yang individualis dan sedikit a-sosial—kata orang—membuatku hanya menyendiri. Kurasa hakku hanyalah bernapas. Sampai pesan singkat berikutnya datang.


Sebenarnya saya menganggapmu orang penting. Saya memerlukan sms kamu terlebih dahulu sebelum memberitakan ke teman-teman.


Bagi seorang perasa dan cengeng sepertiku, pesan itu tak ubahnya wejangan mendiang Kakek sebelum pulang, layaknya pelukkan rindu Nenek setelah seminggu tak bertemu, seperti kecupan pengampunan Mama saat Lebaran. Tak ayal, air mataku meluruh jatuh terpelesat menciumi pipiku.


Entah pesannya tulus atau tidak, aku merasa sangat terharu. Seorang yang jauh dariku, bahkan belum tahu batang tubuhku, pahatan rupaku, dan pelukisan sikapku, telah dengan berani menganggapku orang penting. Orang penting! Apa yang ada dalam pikirannya saat memutuskan opini seperti itu untuk kesan pada diriku? Aku tak paham apa yang ada dalam isi batok kepalanya. Kenapa begitu ceroboh menganggapku seagung itu untuk orang sebesar dia? Ah, benar kata Pramoedya Ananta Toer,

“Meski tatapanmu setajam elang, pikiranmu seluas lautan, pengetahuanmu tentang manusia, takkan bisa kemput!”

Betul juga kata beliau, “Seorang yang pandai, harus sudah adil sejak dalam pikiran hingga perbuatan.”


Aku pikir, takkan kutemukan orang yang seperti itu, namun, jauh dari jazirahku, telah hidup seorang Han 
yang pekerja keras dan rendah hati. Ai, apa-apaan aku ini? Harusnya malu pada para pendatang dan keturunannya itu. Aku orang pribumi yang harusnya jauh lebih baik malah jauh merasa bobrok akhlak saat diingatkan oleh Indo yang low profile itu. Atau memang aku benar-benar mengikuti para pribumi lainnya, yang sedari dulu telah takabur?


Pesan-pesan dari seorang Han itu, membuatku tersadar, tak hanya kutemukan di buku-buku dan di film-film tentang kerendahan hati kelompok mereka. Lebih dari itu, telah terpetakan pula kalimat yang kupikir hanya basa-basi dari salah satu pujangga Balai Pustaka, Pramoedya Ananta Toer. Ai, aku memang benar-benar picik dan jahat.

Janjiku, takkan kuulangi yang seperti itu!





Ruang Kalbu, March 3, 2012
21:24 PM
continue reading MAUT 03-03-2012

Senin, 09 September 2013

Cermin Untuk Diri Sendiri

Cermin Untuk Diri Sendiri


Backsound: Totalitas Perjuangan



Masih terngiang di telinga saya, derap semangat para Mahasiswa Baru menyanyikan yel-yel jurusan mereka, yang menurut mereka terbaik, ditampilkan di depan jurusan-jurusan lain dalam naungan Fakultas Ilmu Pendidikan UNJ. Terlebih, sepenggal bait dari sederet yel-yel milik Mahasiswa Baru jurusan Manajemen Pendidikan, bukan bermaksud primordial, tapi memang itu menggugah isi dari batok kepala saya untuk berpikir. Begini bunyinya:


“Mahasiswa agen perubahan/Jadilah pemimpin masa depan/Jangan mengeluh//Kita mahasiswa!//”



Tiap kali terjaga dari buai mimpi, dengan mata yang masih terkantuk-kantuk, saya sering menampar diri saya dengan bait yel-yel itu. Kemudian saya bertanya. “Perubahan seperti apa yang telah dilakukan mahasiswa masa kini?”, “Adakah pemimpin-pemimpin sekarang adalah mahasiswa yang menganggap dirinya dahulu sebagai calon pemimpin masa depan karena ia berperan sebagai agent of change sebagai mahasiswa ketika masanya?”, dan “Seberapa banyak mahasiswa yang sering bersyukur karena telah menjadi sebenar-benarnya mahasiswa? Yang tidak hanya duduk di kelas dan mendengar kuliah dari bapak dan ibu dosen kemudian pulang begitu saja ketika jam kuliah berakhir.”



Saya sendiri langsung bercermin atas pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan itu. Sejatinya, mahasiswa adalah agent of change, social control, iron stock, dan moral force, itulah yang pertama kali saya dengar di kuliah pertama saya dua semester lalu. Sementara Tri Dharma Universitas yaitu pengabdian masyarakat, penelitian dan pengembangan, dan pendidikan atau pengajaran.



Saya merasa tersentil juga atas pertanyaan teman saya, dia bertanya kenapa presiden tidak ada yang muda, ya? Maksudnya yang fresh graduate, atau paling tidak yang baru lulus 2-3 tahun, trus menjabat jadi pemimpin bahkan presiden, kan ilmunya masih fresh tuh buat diimplementasikan. Kemudian saya menjawab dengan santai karena tidak tahu, mungkin yang dicari pengalaman. Ngurus negara ‘kan ga segampang ngurus makan buat badan sendiri.



Nah, sekarang saya ikut-ikutan memiliki pertanyaan serupa dengan teman saya itu. Dan menurut teori saya, mahasiswa yang sedari pertama lahir sebagai mahasiswa sudah berperan sebagaimana peran mahasiswa seutuhnya, yang tidak hanya bekerja keras demi Indeks Prestasi sempurnya, tapi juga mengamalkan Tri Dharma Universitas dan 4 perannya itu, kenapa tidak mahasiswa yang menjadi pemimpin? Bahkan memimpin negara? Pengalamannya pasti sudah banyak juga sedari menjadi mahasiswa baru hingga bergelar Doktor misalnya? Apalagi kekritisan mahasiswa yang tidak bisa dianggap remeh jika menyangkut soal rakyat dan negara.



Jadi, kenapa tidak juga saya memulai dari diri saya untuk berperan sebagai mahasiswa dan mengamalkan Tri Dharma Universitas karena saya lahir sebagai mahasiswa. Kemudian teman-teman mahasiswa di negeri timur ini juga melakukan hal yang juga lebih spektakuler dibanding hanya duduk dan mendengar isu-isu. Bukankah mahasiswa adalah pemimpin masa depan? Generasi emas? Well, memang harus diawali dari diri sendiri untuk berjiwa nasionalis dan sadar akan peran sebagai pemuda dan mahasiswa.




Ruang Kalbu, 07-09-2013
INF
continue reading Cermin Untuk Diri Sendiri

Selasa, 18 Juni 2013

Aku Ingin Pertemuan yang Pantas


Tanya begitu sering bergaung dalam batok kepalaku. Bukan tanya mengenai mengapa dunia begini dan mengapa harus begitu. Aku bertanya mengapa aku begini? Mengapa aku tertarik padamu, dan mengapa harus sekarang aku merasai itu.


Jalanmu berbeda. Pilihanmu aneh namun cerdas. Kelakarmu kerap arogan tapi benar. Dan aku suka caramu memikirkan dirimu sendiri, aku suka caramu melenggang tergesa-gesa, aku suka dengan pola pikirmu yang simpel namun tidak sederhana. Engkau dengan segala kerumitanmu dan aku dengan rasa kagumku diam-diam.


Aku yakin, tak hanya aku yang kerap mengagung-agungkan sederet alfabetika yang entah bagaimana menjadi sebutanmu sebagai nama lahir. Dimulai dengan huruf ke enam dan diikuti oleh beberapa deretan alfabet yang vokal dan konsonannya proporsional. Kadang, tensiku naik ketika seseorang menyebutkan namamu dengan akrab. Ya, aku cemburu.


Ketika sendiri, aku seolah tak mampu mengendalikan apa yang aku pikirkan tentang dirimu. Sekelebat bayangmu menyembul di seluruh penjuru tanpa bisa ku bunuh satu per satu. Makna tersiratnya, aku harus membunuh otakku sendiri untuk menghilangkanmu. Bahkan harus menikam jantungku tiap detik saat aku merindukanmu di setiap kala.


Aku selalu semangat ketika gelegar sinar mentari menyongsong dalam diam dan genta menari di hadapanku. Satu hal yang kuharap, kau bersedia berada dalam lagu hari-hariku. Aku kerap menangis ketika malam tiba dan aku tak bisa tidur karena memikirkan bagaimana kau hari ini. Aku menangis bukan karena aku tak mampu menemui siluetmu atau tak bisa mendengarmu bercerita. Kau dan aku cukup dekat sebagai teman. Yang aku tangisi adalah sesalku yang tak kunjung lapuk.


Aku menikmati menyukaimu, aku menikmati seluruh pesona paradoks yang ada pada dirimu. Namun, aku belum pantas memiliki hal-hal seperti itu. Kau terlihat terlalu agung untukku. Aku menyesal karena hal ini hanya akan menimbulkan cerca dariku untuk diriku sendiri. Aku mau menyukaimu ketika kita telah benar-benar paham apa itu ini dan ini itu apa. Aku ingin merindumu dalam kehalalan yang telah ditunjukkan sedari dulu oleh para pendahulu. Aku ingin mereguk senyummu dan memahamimu dalam hubungan yang sahih. Aku ingin memuji paradoks-mu dalam keindahan ikatan yang pantas. Dan aku tahu, itu bukan saat ini. Aku menyesal, tapi aku tak ingin jauh darimu, dari jawaban-jawaban sarkastikmu untuk rentetan pertanyaan bodohku.

continue reading Aku Ingin Pertemuan yang Pantas

Sederet Kalam

Kau bukan seperti para rupawan layaknya pemuda-pemuda pengisi pariwara, gelakmu sombong dalam bisu, lenggang kedua kakimu tak lebih baik dari pemuda teman sekelas kita. Aku menggambarkanmu sebagai seluruh elegi, namun senyummu kerap melumer tanpa cela.


Menunggu gaung senja dalam ratusan menit, aku, kau, dan teman kita, mengisinya dengan kelakar. Tak ada yang khusus dari obrolan pengisi kala, sampai sederet kata beringsut darinya. Semangatku meraung dalam diam tatkala kalian membicarakan hal itu. Aku memaksa ikut serta. Dan aku mengerti, satu lagi yang membuatmu tanpa cela di tengah elegimu; caramu mendengar dan berbicara.


“Gua punya cara sendiri dalam mencari sahabat, Vin,” ungkapmu sekonyong-konyong. “gua tinggal jadi diri gua sendiri yang lu tau kayak gini, ngeselin, egois banget kan? Dan gua liat siapa yang masih mau nempel sama gua,” lanjutmu. Kau mendengus lalu melanjutkan bercerita, “siapa coba yang tahan sama kepribadian gua?” Kau terkekeh.


Aku. Tak berani aku mengungkapkan jawaban lewat indera wicara. Aku tersenyum merespons kelakarmu yang kadang sulit kucerna.


“Senyum itu ibadah kan ya? Tapi gua senyum tuh orang malah kesel. Gua emang ngeselin.” Kau kembali mendengus, tertawa. Menganggap lucu seluruh keburukan dirimu sendiri.


Tidak buatku, Fred. Senyummu sungguh tanpa cela.


Dan hari-hari berikutnya, aku tak pernah kuasa menyimpan kesima. Engkau dengan pendirianmu yang egois dan terbiasa sendiri, dan aku dengan perasaanku yang tetap sama sedari ra pertama mendukungmu untuk bercahaya dalam panggung dirimu sendiri.


Ikvinia Nur Fatimah
continue reading Sederet Kalam

Selasa, 07 Mei 2013

RAKER




Pada minggu terakhir bulan ke tiga masehi, tepatnya sedari tanggal 22-24 Maret, para pengurus SIGMA TV UNJ (Sinematografi Mahasiswa dan Televisi Universitas Negeri Jakarta) yang baru berbondong-bondong bertolak ke daerah Puncak, Bogor. Bukan untuk bersenang-senang dan menikmati alam, melainkan untuk mendemokan setiap program kerja yang telah dibentuk oleh setiap divisi, biro, sekretaris, dan bendahara dalam rangkaian acara Rapat Kerja.
Seluruh pengurus tiba di tujuan pada pukul 22:00 WIB rombongan pengurus SIGMA TV sampai di tempat tujuan. Dimulai dengan pembukaan yang dibuka oleh Ketua Terpilih SIGMA TV UNJ yang anyar yaitu Nurul Khansa Fauziah, rangkaian acara RAKER berjalan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan oleh para panitia acara. Hingga pada keesokan harinya, pada tanggal 23 April pukul 09:00 WIB, rapat kerja SIGMA TV UNJ dimulai dengan presentasi dari Divisi Film yang dikepalai oleh Muhammad Budiman kemudian dilanjutkan oleh Divisi Jurnalistik dan TV dengan kepala seorang perempuan bernama Gelar Gelora Mestika.
Atap yang melindungi SIGMA TV UNJ adalah dari film dan liputan dan acara-acara teve. Dari itulah, Divisi Film telah merundingkan sebelumnya untuk mepresentasikan program kerja yang lebih maju dari sebelumnya. Sang kepala divisi menguraikan bahwa program kerja dari Divisi Film diantaranya ‘Pembuatan 13 Film dalam Satu Periode’, ‘Layar Iket’, dan ‘Lomba Film se-Gedung G’. Ia menuturkan program kerja yang terakhir disebut adalah program kerja baru untuk mendekatkan diri dengan keluarga di Gedung G.
Lain halnya dengan Divisi Jurnalistik dan Televisi yang sering disingkat DJT, orang-orang lapangan ini telah membuat program kerja yang bersifat continue yakni ‘Liputan’, ‘Program TV yang Berjudul REMAS (Rekomendasi Mahasiswa) dan MAMEN (Mahasiswa Komen)’, dan lainnya. Tika, Kepala Divisi Jurnalistik dan TV menjelaskan bahwa kedua acara TV itu akan berlangsung tiap bulannya, sama seperti program tahun lalu, yang nantinya akan diunggah ke channel Youtube dengan kerjasama Divisi HUMAS.
Sebagai orang-orang yang mengurusi SDM, Divisi PSDM mendemokan program kerja mereka dengan tajuk ‘PCAB (Penerimaan Calon Anggota Baru)’, ‘OAB (Orientasi Anggota Baru)’, serta ‘WASIT alias Wajib Sinematografi’. Dani Purnama Junaedi, sebagai kepala divisi menjelaskan bahwa program WASIT akan diikuti oleh seluruh pengurus dalam kurun waktu kurang lebih satu bulan yang dipimpin oleh seorang pengajar yang memiliki pengalaman dan kompeten di bidangnya. Pengajar ini adalah senior dan alumni SIGMA TV yang akan diminta untuk mengajari para anggota SIGMA TV. Wajib Sinematografi ini terdiri dari materi-materi Skenario, Kamera, Peliputan, Penyuntingan Video, dan Penyutradaraan. Setelah mengikuti WASIT, para peserta akan dievaluasi dengan membuat film dan diberikan sertifikat, tanda telah mengikuti Wajib Sinematografi.
Nida Ansadena selaku KADIV (kepala divisi) HUMAS bersama para staffnya, pun ikut mempresentasikan beberapa program kerjanya selama satu periode kepengurusan. Di antaranya, ‘Anjangsana Rektorat dan Gedung G’, ‘Bulletin’, ‘Goes to Faculty’, ‘SIGMA’s Birthday’ dan lainnya. Nida menuturkan bahwa Goes to Faculty adalah program kerja yang di mana HUMAS beserta Divisi Film dan Jurnalistik TV akan bekerjasama dan pergi ke tiap fakultas untuk memberikan program-program TV dan film-film SIGMA TV, yang nantinya disiarkan melalui televisi-televisi yang ada di fakultas.
Tak ada yang baru dari Biro Rumah Tangga yang dikepalai oleh Mufti Fadhillah. Masih sama seperti tahun lalu. Namun, besar harapan akan sumber daya manusia yang ada SIGMA TV dalam menyulap sekretariat menjadi nyaman dan seluruh anggota menjadi disiplin. Sama halnya dengan Sekretaris dengan kepala divisi Arie Anindita, tak ada yang baru, hanya pembuatan mading SIGMA TV yang kini telah terlaksana. Sedang Bendahara yang dikepalai oleh Alvina, kini memiliki program kerja ‘Uang Kas’ tiap bulannya. Uang tersebut akan dipakai untuk menutupi kekurangan-kekurangan yang dikhawatirkan ada.
Tidak ada atap yang mampu melindungi jika tak ada tiang yang menopang dengan kokoh. Untuk itulah komponen-komponen lain di dalam organisasi sungguh penting untuk memperkuat. Tiang-tiang kokoh di SIGMA TV adalah divisi-divisi lain di luar Film dan Jurnalistik dan TV, yakni Divisi PSDM yang mengurusi Sumber Daya Manusia di SIGMA TV, Divisi HUMAS yang memiliki wewenang dalam hubungan masyarakat baik internal maupun eksternal kampus, Biro Rumah Tangga atau dikenal juga kesekretariatan yang mengurusi sumber daya di dalam SIGMA TV di luar SDM, Biro Rumah Tangga atau Biro RT merupakan barikade terdepan dari ‘rumah’ SIGMA TV. Ada pula tangan kanan dan kiri sang Ketua Umum yakni Sekretaris dan Bendahara. Seluruh komponen ini saling berintegrasi dalam sistem yang diusung oleh organisasi formal SIGMA TV. Diharapkan setelah RAKER ini, seluruh program kerja yang telah diusung akan berjalan dengan baik. Pun semangat kekeluargaan dari organisasi ini tak luntur di tiap anggota. Seperti yang disebutkan oleh salah satu senior, Sandy Hermawan pada RAKER tahun lalu, bahwa RAKER bukan Rapat Kerja melainkan Rapat Kekeluargaan.

INF
continue reading RAKER

Muffin and Azriel



Takkan kubiarkan selang sedikitpun pandangan memancang itu lapuk terpatahkan kala. Pikiranku, aku takkan menyerah untuk mendapatkan hati sang pujangga. Semat jari pada diri sendiri telah kuusung sedari setahun lalu. Tak sepersekian detikpun aku biarkan memoar itu hanyut.


Memang ini bukanlah suatu hal yang wajar—bagiku sendiri—menyukai pria yang bahkan jauh lebih ‘cantik’ dari diriku. Setahun lalu, aku mulai dekat dengan dia, setelah saling kenal di satu tahun sebelumnya. Tak ada yang salah dari wajahnya yang elok dan rupawan, serta tatanan pakaian dan segalanya sungguh perlente bak artis kota. Belum hilang dari ingatanku caranya berjalan laiknya di atas catwalk seperti model internasional. Aku tak pernah kuasa menyimpan kesima. Sayangnya, seluruh keindahan yang terpancar dari dirinya hampir sama seperti genderku—selain wajah dan namanya.

Dear, coba lihat pria di arah jam 1. Oh, kekarnya!” celetuknya riang.


Aku hanya mengangguk dan tersenyum getir ketika dia mengatakan hal serupa.
Bukan, dia bukan seorang gay—entahlah—menurut penuturannya ia pernah menjalin hubungan dengan seorang gadis yang aku tak tahu dan tak mau tahu. Well, terkadang memang pertanyaan-pertanyaan dari rasa penasaran yang tinggi melurung begitu saja dalam pikiranku, tak pernah sekalipun berani kuluncurkan lewat indra wicara. Tidak begitu penting.

“O, love, ada apa? Mengapa bermuram durja?”


Ya Tuhan, bagaimana bisa aku lepas dari jerat perasaan pada pria ‘cantik’ ini jika sikap baiknya sungguh melenakanku? Tidak hanya sekali aku mencoba untuk berdamai dengan perasaanku dan mengikhlaskan dia dalam dunia yang ia mau. Dan tidak jarang dia dengan segala perhatiannya mendatangiku membawa suka. Meski aku tahu ia memang Zeus, tak memilih target dari kebaikan-kebaikannya.

“El, bagaimana keadaanmu? Sudah baikan? Sepuluh menit lagi aku sampai ke kondominiummu dengan Zoey dan Jean.”


Aku merasa kesadaranku telah dikompulsi makhluk astral hingga membawaku ke dalam alam nirsadar. Pasalnya, seluruh kudapan yang terhidang darinya tinggal remah tak berguna di dasar meja kaca. Dan balasan atas kelakuanku adalah tatapan tajam yang menembus ubun-ubun dari dua pasang mata di pemburit kursi berbeda.


“Dave, apa yang kau tambahkan dalam adonan muffinmu hingga Elly begitu menikmatinya?” celetuk Zoey. Aku melihatnya menyenggol pinggul Dave.

Well, kini kau tahu siapa yang hebat dalam membuat kudapan senja, girls.” Dave terkekeh geli.

“Tidak, tidak, tidak! Kurasa El sudah melihat Azriel mengintai nyawanya, jadi ia melahap seluruh hidangan di hadapannya selagi bisa,” tandas Jean.

“O, Jean, apa yang kau bicarakan? Itu terlalu kejam!” hardik Dave.


Kekehanku mendadak beku. Pun dua putri kampus itu. Tatapan kami terpancang pada Dave yang memberungut tak jelas. Candaan yang dilontarkan oleh Jean sangat sudah biasa, bahkan menjadi ritual tiap pertemuan kami berempat.

“Jean, harusnya kau menjaga perasaan El. Dia tengah sakit dan kau membawanya ke batas asa. Kau pikir dia sedang sekarat?” Dave mengoceh menceramahi Jean.


Netraku menoleh pada Jean, pun Jean dan Zoey. Tatapan kamu bersirobok, sama-sama mengusung tanya. Namun, jauh daripada itu, aku merasa beruntung tak kepalang. Rasanya seluruh cahaya langit meluruh hanya untuk diriku.


Tentu saja, ribuan taksonomi tak pernah cocok dalam memetakan perasaan yang kukandung dalam kalbu manakala Dave berlaku seperti ini. Aku selalu bahagia dengan langgamnya mengulum kalam dan kata, apalagi dengan lagak penuh simpati dan empatinya. Ya, kecuali ketika pujian yang beringsut dari bibir itu untuk memetakan kekaguman pada bisep-bisep kekar milik wajah tampan.

“Jangan berlebihan, Dave. Empatimu tak selayaknya membuat ringkingan gelak El tersabotase,” protes Zoey. Ia menepuk pundak landai Dave dengan ringan.


Tak apa, aku suka itu. Aku hanya mampu mengungkapkan itu pada dasar tenggorokanku. Dave beringsut mendekatiku, ia duduk di birai kasur.


“Jangan ulangi itu lagi, Jean!” Dave masih dengan wajah kesalnya menatap Jean.

“O, ayolah D, itu hanya kelakar ritual kita, tak ada yang salah dengan candaan Jean. Kenapa kau begitu marah?” Aku menepuk-nepuk pundak Dave; seperti yang dilakukan Zoey.


Alih-alih merasai aura tegangnya mengendur, aku membatasi gerak-geriknya dengan tatapanku yang tak ia sadari. Zoey dan Jean hanya mengulum senyum kemudian bercanda mengejek Dave. Sedang Dave mengalihkan pandangan padaku, bersamaan dengan candaan-candaan mengenainya meluncur dari kedua bibir jelita di dekat kami. Rautnya meramah, mulutnya membulat; siap meluncurkan kalam. Ia menghadapkan wajahnya padaku, hingga aku mampu merasai napas berbau apple cidar dari mulutnya.

“Aku hanya tak ingin kehilangan sahabat baik sepertimu, Elizabeth,” lirihnya di telingaku. Hatiku kebas. Degupan jantungku lebih lekas dari normal.

Ya, aku sahabat baiknya. Pun seperti Zoey dan Jean. Kami hanya bersahabat. Kendati ujung hatiku tetap meregup asa atas rasa yang lebih darinya. Tak ada kendati dan akan tetapi.


FIN
continue reading Muffin and Azriel

MAJELIS


MAJELIS
Seperti pernikahan, meminang dahulu baru menikah, pun dengan tulisan. Aku rasa itu adalah kalimat terakhir yang aku ucapkan untuk salah satu teman karibku. Aku tak lagi bersirobok tatap dengan mereka.

Aku tak pernah ingin menjauh dari siapapun, dan tak pernah mau hanya mendekati satu komuni. Jiwaku bebas, tak pernah suka dengan ikatan. Pikiranku rasional—mungkin licik—selalu ingin mendapatkan sesuatu dari yang aku temui. Aku mencintai kebebasan dan meminang kebahagiaan. Bukan maksudku mengatakan bahwa dengan mereka aku tak mendapat bahagia. Justru bersama merekalah aku lahir dan merasai tumbuhkembang, kendati tumbuhkembangku berbeda.

Bisa jadi aku berlebihan, menilai pertemuan kami sebagai mutiara di mulut kerang. Hingga sederet aksara menyembul dari buah pikiran salah satu dari kami untuk menjadi nama koloni kami—yang konon nama itu telah dikenal seantero angkatan sejurusan.

Tujuh deret alfabetika yang dimulai dengan huruf ke 13 dan disusul enam huruf berikutnya dengan proporsi pas antara konsonan dan vokal. Tak ada vokal yang menyongsong dan berderet dengan vokal lain, pun begitu dengan konsonan. Tujuh huruf yang diakhiri oleh konsonan berbentuk seperti ular. Namun, aku baru berpikir arti yang baik untuk nama itu. Mungkin tepatnya sebuah asa untuk diriku sendiri.
Aku merasa bersalah karena tak dekat dengan mereka akhir-akhir ini, meskipun kurasa mereka tak masalah dengan keraiban diriku dalam koloni dan mendekati koloni lain. Aku ingin kembali datang bergabung, dan terlalu banyak tapi membanjiri. Ketakutanku adalah ketika aku kehilangan tegur sapa yang mencair dan senyum melumer dari mulut mereka untukku. Dan jika sudah seperti itu, haruskah aku kembali sendiri dan mencumbui layar yang merusak mataku demi membunuh sepi?


Aku tahu kelemahanku, aku terlalu banyak bicara dengan mereka, dan sepertinya kelakarku tak cocok untuk selera tinggi yang mereka punya—terlalu membosankan. Seperti anekdot kelam yang langsung bisa dinalar hanya dengan mendengar huruf pertamanya saja. Dan bisa jadi aku mengesalkan seperti yang disindir oleh salah satu dari kami, yang pilihan katanya sungguh menohok dan membuatku berpikir untuk tahu diri.


Jika ada kata yang lebih tinggi dari peumpamaan rindu, aku akan pakai kata itu untuk menyusun kalam-kalam ini agar lebih indah. Aku rindu berada di dekat mereka, aku bahkan rindu ketika aku kesal karena tidak diperhatikan dan ketika rangkulan hangatku ditolak oleh mereka. Aku rindu segala elegi yang terbangun untuk citraku dari mata mereka. Kendati aku masih membenci kebiasaan menginterupsi opini seseorang di antara kami.


O, aku sampai lupa menjabat tangan salah satu handai karib demi menggelontorkan ucapan selamat ulang tahun dengan serentet doa basi namun bukan berarti seperti sapaan lepas bertemu kawan anyar di jalan.




Rabu, 08 Mei 2013, 01.33 a.m
continue reading MAJELIS