Kau bukan
seperti para rupawan layaknya pemuda-pemuda pengisi pariwara, gelakmu sombong
dalam bisu, lenggang kedua kakimu tak lebih baik dari pemuda teman sekelas
kita. Aku menggambarkanmu sebagai seluruh elegi, namun senyummu kerap
melumer tanpa cela.
Menunggu gaung senja dalam ratusan menit, aku, kau, dan teman kita, mengisinya dengan
kelakar. Tak ada yang khusus dari obrolan pengisi kala, sampai sederet kata
beringsut darinya. Semangatku meraung dalam diam tatkala kalian membicarakan
hal itu. Aku memaksa ikut serta. Dan aku mengerti, satu lagi yang membuatmu
tanpa cela di tengah elegimu; caramu mendengar dan berbicara.
“Gua punya cara
sendiri dalam mencari sahabat, Vin,” ungkapmu sekonyong-konyong. “gua tinggal
jadi diri gua sendiri yang lu tau kayak gini, ngeselin, egois banget kan? Dan
gua liat siapa yang masih mau nempel sama gua,” lanjutmu. Kau mendengus lalu
melanjutkan bercerita, “siapa coba yang tahan sama kepribadian gua?” Kau
terkekeh.
Aku. Tak berani aku mengungkapkan jawaban
lewat indera wicara. Aku tersenyum merespons kelakarmu yang kadang sulit
kucerna.
“Senyum itu
ibadah kan ya? Tapi gua senyum tuh orang malah kesel. Gua emang ngeselin.” Kau
kembali mendengus, tertawa. Menganggap lucu seluruh keburukan dirimu sendiri.
Tidak buatku, Fred. Senyummu sungguh tanpa cela.
Dan hari-hari berikutnya,
aku tak pernah kuasa menyimpan kesima. Engkau dengan pendirianmu yang egois dan
terbiasa sendiri, dan aku dengan perasaanku yang tetap sama sedari ra pertama
mendukungmu untuk bercahaya dalam panggung dirimu sendiri.
Ikvinia Nur Fatimah
0 komentar:
Posting Komentar