Selasa, 18 Juni 2013

Sederet Kalam

Kau bukan seperti para rupawan layaknya pemuda-pemuda pengisi pariwara, gelakmu sombong dalam bisu, lenggang kedua kakimu tak lebih baik dari pemuda teman sekelas kita. Aku menggambarkanmu sebagai seluruh elegi, namun senyummu kerap melumer tanpa cela.


Menunggu gaung senja dalam ratusan menit, aku, kau, dan teman kita, mengisinya dengan kelakar. Tak ada yang khusus dari obrolan pengisi kala, sampai sederet kata beringsut darinya. Semangatku meraung dalam diam tatkala kalian membicarakan hal itu. Aku memaksa ikut serta. Dan aku mengerti, satu lagi yang membuatmu tanpa cela di tengah elegimu; caramu mendengar dan berbicara.


“Gua punya cara sendiri dalam mencari sahabat, Vin,” ungkapmu sekonyong-konyong. “gua tinggal jadi diri gua sendiri yang lu tau kayak gini, ngeselin, egois banget kan? Dan gua liat siapa yang masih mau nempel sama gua,” lanjutmu. Kau mendengus lalu melanjutkan bercerita, “siapa coba yang tahan sama kepribadian gua?” Kau terkekeh.


Aku. Tak berani aku mengungkapkan jawaban lewat indera wicara. Aku tersenyum merespons kelakarmu yang kadang sulit kucerna.


“Senyum itu ibadah kan ya? Tapi gua senyum tuh orang malah kesel. Gua emang ngeselin.” Kau kembali mendengus, tertawa. Menganggap lucu seluruh keburukan dirimu sendiri.


Tidak buatku, Fred. Senyummu sungguh tanpa cela.


Dan hari-hari berikutnya, aku tak pernah kuasa menyimpan kesima. Engkau dengan pendirianmu yang egois dan terbiasa sendiri, dan aku dengan perasaanku yang tetap sama sedari ra pertama mendukungmu untuk bercahaya dalam panggung dirimu sendiri.


Ikvinia Nur Fatimah

0 komentar:

Posting Komentar