Tanya
begitu sering bergaung dalam batok kepalaku. Bukan tanya mengenai mengapa dunia
begini dan mengapa harus begitu. Aku bertanya mengapa aku begini? Mengapa aku
tertarik padamu, dan mengapa harus sekarang aku merasai itu.
Jalanmu
berbeda. Pilihanmu aneh namun cerdas. Kelakarmu kerap arogan tapi benar. Dan
aku suka caramu memikirkan dirimu sendiri, aku suka caramu melenggang
tergesa-gesa, aku suka dengan pola pikirmu yang simpel namun tidak sederhana.
Engkau dengan segala kerumitanmu dan aku dengan rasa kagumku diam-diam.
Aku
yakin, tak hanya aku yang kerap mengagung-agungkan sederet alfabetika yang
entah bagaimana menjadi sebutanmu sebagai nama lahir. Dimulai dengan huruf ke
enam dan diikuti oleh beberapa deretan alfabet yang vokal dan konsonannya
proporsional. Kadang, tensiku naik ketika seseorang menyebutkan namamu dengan
akrab. Ya, aku cemburu.
Ketika
sendiri, aku seolah tak mampu mengendalikan apa yang aku pikirkan tentang
dirimu. Sekelebat bayangmu menyembul di seluruh penjuru tanpa bisa ku bunuh
satu per satu. Makna tersiratnya, aku harus membunuh otakku sendiri untuk
menghilangkanmu. Bahkan harus menikam jantungku tiap detik saat aku
merindukanmu di setiap kala.
Aku
selalu semangat ketika gelegar sinar mentari menyongsong dalam diam dan genta
menari di hadapanku. Satu hal yang kuharap, kau bersedia berada dalam lagu
hari-hariku. Aku kerap menangis ketika malam tiba dan aku tak bisa tidur karena
memikirkan bagaimana kau hari ini. Aku menangis bukan karena aku tak mampu
menemui siluetmu atau tak bisa mendengarmu bercerita. Kau dan aku cukup dekat
sebagai teman. Yang aku tangisi adalah sesalku yang tak kunjung lapuk.
Aku
menikmati menyukaimu, aku menikmati seluruh pesona paradoks yang ada pada
dirimu. Namun, aku belum pantas memiliki hal-hal seperti itu. Kau terlihat
terlalu agung untukku. Aku menyesal karena hal ini hanya akan menimbulkan cerca
dariku untuk diriku sendiri. Aku mau menyukaimu ketika kita telah benar-benar
paham apa itu ini dan ini itu apa. Aku ingin merindumu dalam kehalalan yang
telah ditunjukkan sedari dulu oleh para pendahulu. Aku ingin mereguk senyummu
dan memahamimu dalam hubungan yang sahih. Aku ingin memuji paradoks-mu dalam
keindahan ikatan yang pantas. Dan aku tahu, itu bukan saat ini. Aku menyesal,
tapi aku tak ingin jauh darimu, dari jawaban-jawaban sarkastikmu untuk rentetan
pertanyaan bodohku.
0 komentar:
Posting Komentar