Selasa, 10 September 2013

MAUT 03-03-2012


Maut? Apa itu maut? Ya, orang bilang semua yang bernyawa akan datang padanya. Para santiaji, pendakwah, dan orang-orang tua, telah menyadurnya dari kitab dan skripta petunjuk para pemeluk agama. 


Dulu, aku paham, tiap detik rasanya maut berdansa-dansa di depan mata. Hanya diam-diam orang menanggapi. Sang maut, sang kelam tanpa bentuk tanpa wujud, hanya setumpuk mata rantai lepas, mata rantai tanda tanya. Aku, kini tak paham. Bagaimana dia merenggut hak-hak hidup para makhluk. Entah, dia adalah baik atau raja zalim adanya, aku juga tak tahu. Yang jelas, kita akan datang padanya.


2 kali, telah kurekam baik-baik orang-orang yang pergi. Kakekku, pria paling tangguh dan perkasa di dunia, paling hebat dan terpandai meski tak mengecap bangku sekolah, nomor satu di dunia. Yang paling tangguh itu, meregang nyawa di hadapanku. Hatiku terguncang. Dan setahun telah terlampaui.


5 hari yang lalu, orang yang tak kukenal. Bahkan namanya, tak kuketahui barang sesuku pun. Seorang pria lagi. Aku tak saksikan kisahnya dalam pertempuran melawan penyakit dan saat sakaratul maut. Aku tahu, ia mengidap kanker, entah kanker apa. Putrinya yang baik hati itu telah banyak bercerita padaku.


Dia keturunan Han, entah Kek, Hokian, atau Tongsan, aku telah lupa. Atau barangkali dia tak pernah memberitahukannya padaku. Tak penting mungkin baginya. Yang jelas kami bersahabat baik. Dan pada hari Papanya hendak dikremasi, ponselku memerlukan bergetar demi memberi tanda sebuah pesan singkat masuk, tentu itu dari dia. Isinya:

Dear Ikvi,
Kenapa kamu sering menghilang saat saya membutuhkan? Sudah 6 sms saya kirim dan 4 kali saya coba hubungi kamu, tapi tak ada jawaban. Pada hari yang sama, Papa saya meninggal. Saya jadi enggan memaafkan kamu lagi.

Ching


Begitu saja, sederhana. Dan itu membuatku jatuh ke lantai sesaat setelah membacanya. Aku jadi enggan pergi kemanapun. Perbukuan kakiku melemas, tak kuasa untuk bangkit. Adakah ia benar-benar menutup pintu maafnya dan menghapus namaku dari daftar pertemanan hidupnya? Aku kenal dia, memang hanya dari jejaring sosial setahun lalu, namun jauh lebih dekat dari teman-teman yang jelas wujudnya.
Akhirnya, kujelaskan apa yang bisa kuterangkan. Jawabnya:

Mungkin
Tak kubalas lagi pesannya. Sudah tak kuasa rasanya aku mengetikkan deretan huruf di layar ponsel. Aku merasa tak lagi ada hak sipil. Laiknya para tahanan politik pada masa Orde Baru dulu. Sifatku yang individualis dan sedikit a-sosial—kata orang—membuatku hanya menyendiri. Kurasa hakku hanyalah bernapas. Sampai pesan singkat berikutnya datang.


Sebenarnya saya menganggapmu orang penting. Saya memerlukan sms kamu terlebih dahulu sebelum memberitakan ke teman-teman.


Bagi seorang perasa dan cengeng sepertiku, pesan itu tak ubahnya wejangan mendiang Kakek sebelum pulang, layaknya pelukkan rindu Nenek setelah seminggu tak bertemu, seperti kecupan pengampunan Mama saat Lebaran. Tak ayal, air mataku meluruh jatuh terpelesat menciumi pipiku.


Entah pesannya tulus atau tidak, aku merasa sangat terharu. Seorang yang jauh dariku, bahkan belum tahu batang tubuhku, pahatan rupaku, dan pelukisan sikapku, telah dengan berani menganggapku orang penting. Orang penting! Apa yang ada dalam pikirannya saat memutuskan opini seperti itu untuk kesan pada diriku? Aku tak paham apa yang ada dalam isi batok kepalanya. Kenapa begitu ceroboh menganggapku seagung itu untuk orang sebesar dia? Ah, benar kata Pramoedya Ananta Toer,

“Meski tatapanmu setajam elang, pikiranmu seluas lautan, pengetahuanmu tentang manusia, takkan bisa kemput!”

Betul juga kata beliau, “Seorang yang pandai, harus sudah adil sejak dalam pikiran hingga perbuatan.”


Aku pikir, takkan kutemukan orang yang seperti itu, namun, jauh dari jazirahku, telah hidup seorang Han 
yang pekerja keras dan rendah hati. Ai, apa-apaan aku ini? Harusnya malu pada para pendatang dan keturunannya itu. Aku orang pribumi yang harusnya jauh lebih baik malah jauh merasa bobrok akhlak saat diingatkan oleh Indo yang low profile itu. Atau memang aku benar-benar mengikuti para pribumi lainnya, yang sedari dulu telah takabur?


Pesan-pesan dari seorang Han itu, membuatku tersadar, tak hanya kutemukan di buku-buku dan di film-film tentang kerendahan hati kelompok mereka. Lebih dari itu, telah terpetakan pula kalimat yang kupikir hanya basa-basi dari salah satu pujangga Balai Pustaka, Pramoedya Ananta Toer. Ai, aku memang benar-benar picik dan jahat.

Janjiku, takkan kuulangi yang seperti itu!





Ruang Kalbu, March 3, 2012
21:24 PM

0 komentar:

Posting Komentar